“Falsafah” atau “palasipah”, “filsafah”, “filsafat” artinya sama
dengan istilah “philosophy” dalam bahasa Inggris. Menurut The Oxford
Companion to Philosophy (ed. Ted Honderich, New York, Oxford University
Press, 1995), definisi “philosophy” yang paling singkat dan tepat ialah
berpikir tentang berpikir (thinking about thinking). Adapun definisi
yang lebih rinci menurut buku itu ialah: berpikir secara kritis dan
rasional, secara kurang lebih sistimatis mengenai keadaan umum dunia
(metafisik atau tiori tentang eksistensi), pembenaran atas kepercayaan
(epistemologi atau teori tentang ilmu pengetahuan) serta cara hidup
sehari-hari (etika atau teori nilai).
Apakah orang Sunda mempunyai tradisi berpikir tentang berpikir?
Pertanyaan sederhana ini susah dijawab, karena dalam tradisi filsafah,
berpikir itu tidak hanya yang dilakukan dalam kepala seseorang,
melainkan harus ditulis, sehingga bukan saja dapat diketahui oleh orang
yang tidak berkenalan langsung dengan orang itu, melainkan juga
kebenaran dan ketelitiannya dapat diukur dan diuji setiap saat. Harus
diakui bahwa tradisi menulis di kalangan orang Sunda, walaupun ada
naskah bahasa Sunda yang berasal dari abad ke-16 dan sejak abad ke-19
banyak sekolah didirikan di Tatar Sunda sehingga orang Sunda termasuk
yang pertama mendapat kesempatan untuk menuliskan bahasa ibunya dengan
huruf Latin dan menggunakannya dalam buku-buku yang tercetak, namun
kebiasaan menulis, apalagi menuliskan pikiran-pikiran secara kritis dan
rasional mengenai eksistensi kehidupan, dan mengenai teori ilmu
pengetahuan tidak pernah berkembang. Yang kita temui dalam naskah-naskah
kuna Sunda terutama tentang etika. Hal itu nampak dalam naskah-naskah
yang ditulis dalam bahasa dan huruf Sunda Kuna – yang sekarang hanya
bisa dibaca dan dimengerti oleh beberapa orang saja, tidak akan lebih
dari 10 orang! Begitu juga dalam naskah-naskah yang lebih kemudian yang
ditulis dalam bahasa Sunda dengan huruf Pegon, huruf Hanacaraka, maupun
dengan huruf Latin. Sejak abad ke-19, orang Sunda menuliskan bahasa
Sunda yang diterbitkan berupa buku, tetapi seperti juga naskah-naskah
isi buku-buku itu kebanyakan berupa cerita atau uraian tentang agama.
Hampir tidak ada yang bersifat hasil pemikiran, apalagi yang kritis!
Bersikap kritis dalam masyarakat Sunda dianggap kurang ajar. Henteu
Nyunda.
Satu-satunya kekecualian mungkin hanyalah H. Hasan Mustapa
(1852-1930) yang banyak menuliskan renungan dan pendapatnya yang kritis,
terutama dalam bentuk puisi, walaupun banyak juga yang berbentuk prosa.
Tetapi karya-karyanya kebanyakan disalurkan melalui cara pesantrén
tradisional, yaitu beredar dengan disalin melalui tulisan tangan dari
seorang kepada yang lainnya. Hanya tiga buah karyanya yang dicetak
selama hidupnya yaitu Bab Adat Urang Priangan jeung Sunda Lianna ti Éta
(1913) dan Buku Leutik Pertélaan Adat Jalma-jalma di Pasundan (1916).
Keduanya merupakan deskripsi étnografis, bukan hasil renungan dan
pemikirannya. Yang satu lagi, walaupun terbit ketika HHM masih hidup,
namun disusun oleh W.A. (Wangsaatmadja), berjudul Balé Bandung (1924),
yang merupakan kumpulan surat-menyurat antara HHM dengan Kiai Kurdi dari
pesantrén Sukawangi, Singaparna. Surat-menyurat itu terutama membahas
masalah ketuhanan (tauhid) dalam bentuk puisi rakyat.
Di samping itu masih dapat dipersoalkan apakah ada “falsafah” sesuatu
bangsa atau suku bangsa? Kalau kita berbicara tentang falsafah Yunani
misalnya, yang muncul adalah pemikiran-pemikiran yang dikemukakan oleh
banyak filosof: Sokrates, Plato, Aristoteles, Anaxagoras, Aristippus,
Protagoras dll. Di samping itu ada juga falsafah Yunani modern yang
berkembang pada zaman modern yang juga diwakili oleh banyak pemikir yang
tidak selalu sejalan seperti Peter Vrailas-Armenis, Konstantine
Tsatsos, Panayotis Kanellopoulos, Teophilos Voreas, Christos Androutsos
dll. Keseluruhan pemikiran para filosof itulah yang membangun apa yang
disebut “falsafah Yunani”. Di antara mereka pemikirannya bukan saja
tidak selalu sejalan, melainkan sering juga bertentangan satu sama lain.
Jadi bukan hanya satu macam pemikiran yang bulat menjadi hasil
pemikiran orang Yunani. Hal yang sama terjadi juga kalau kita mau
berbicara tentang “falsafah Cina”, “falsafah India”, “falsafah Jepang”,
dll. Yang dimaksud selalu berarti seluruh pemikiran yang timbul di
masing-masing negara itu dan tidak selalu merupakan kesatuan yang bulat,
karena terdapat perbedaan bahkan pertentangan paham satu sama lain.
Dengan demikian “falsafah orang Sunda” harusnya terdiri dari semua
pemikiran yang dikemukakan orang Sunda selama sejarahnya tentang hidup,
tentang mati, tentang seni, tentang agama dll. Masalahnya ialah karena
orang Sunda tidak (banyak) meninggalkan naskah tertulis mengenai hal
itu, sehingga kita sulit menjejakinya.
Kalau kita hendak berbicara tentang “filsafah Sunda” atau “falsafah
orang Sunda”, kita tidak akan banyak menemukan hasil pemikiran orang
Sunda yang tertulis. Memang pemikiran manusia tidak hanya dalam bentuk
tulisan saja. Yang lisan pun bukannya tidak berharga. Tradisi lisan
menurunkan pemikiran nenek moyang kepada anak cucunya melalui berbagai
cara. Niscaya orang Sunda terutama mempergunakan cara lisan dalam
menyampaikan kearifan hidupnya, karena tradisi tulisan belum melembaga
dalam masarakat. Tapi sejak beberapa dasawara lembaga-lembaga lisan yang
dahulu menjadi cara menurunkan kearifan hidup orang Sunda sudah tidak
berfungsi lagi. Kearifan hidup dari nenek moyang tidak lagi disampaikan
kepada anak cucu, karena masarakat Sunda mengalami perubahan yang sangat
mendasar. Hanya sebagian kecil saja kearifan nenek moyang orang Sunda
yang sempat dicatat dan dengan demikian tersimpan. Itu pun tidak dapat
disalurkan untuk diketahui oleh anak-cucunya, karena lembaga-lembaga
pendidikan dan komunikasi yang sekarang dikenal tidak memberi tempat
untuk hal-hal demikian. Artinya kalaupun ada apa yang disebut “falsafah
Sunda”, namun hampir tidak dikenal lagi oleh komunitas manusia yang
sekarang disebut orang Sunda. Karena “falsafah” itu merupakan pandangan
tentang hidup (dan juga tentang mati) yang dianut seseorang atau
sekelompok orang, maka kadang-kadang “falsafah” diartikan sama dengan
“pandangan hidup”. Istilah “pandangan hidup orang Sunda” pernah
dijadikan kajian satu tim peneliti yang dilaksanakan kl. 20 tahun yl.
Proyék Sundanologi ketika dipimpin oleh Prof. Dr. Édi Ékadjati pada
paruh kedua tahun 1980-an mengadakan penelitian tentang “Pandangan hidup
Orang Sunda” dan menghasilkan tiga judul buku yang masing-masing
dikerjakan oleh tim peneliti yang berlain-lainan. Yang pertama Pandangan
Hidup orang Sunda seperti tercermin dalam Tradisi lisan dan Sastra
Sunda (1987) yang ditulis oleh Tim yang dipimpin oleh Prof. Dr. Suwarsih
Warnaén dengan anggota Dr. Yus Rusyana, Drs. Wahyu Wibisana, Drs.
Yudistira K. Garna dan Dodong Djiwapradja SH. Yang kedua sama judulnya
(1987), hanya dengan keterangan tambahan “Konsistensi dan Dinamika” dan
walaupun Ketua Tim tetap, namun anggotanya berubah menjadi Dodong
Djiwapradja SH, Drs. H. Wahyu Wibisana, Drs. Kusnaka Adimihardja MA, Dra
Nina Herlina Sukmana dan Dra Ottih Rostoyati. Sedang yang ketiga
judulnya berubah menjadi Pandangan Hidup Orang Sunda seperti tercermin
dalam kehidupan Masyarakat Dewasa Ini (1988/1989) dengan Tim yang
terdiri dari Dr. Yus Rusyana, Drs. Yugo Sariyun MA, Dr. Edi S. Ekadjati,
dan Drs. Undang Ahmad Darsa.
Ketiga buku itu sampai sekarang merupakan hasil kajian yang boleh
dikatakan cukup mendalam tentang pandangan hidup orang Sunda, baik yang
tertulis dalam naskah-naskah dan buku-buku, maupun yang terdapat dalam
tradisi lisan dan berdasarkan hasil wawancara terhadap orang-orang Sunda
dewasa ini – yaitu pada masa penelitian itu dilangsungkan kl. 20 tahun
yl. Penelitian tahap I sampai pada kesimpulan yang ternyata konsisten
dengan hasil penelitian pada tahap II, namun kesimpulan pada tahap III
menunjukkan terjadi pergeseran-pergeseran dalam berbagai hal.
Dalam kesempatan ini saya ingin menjadikan hasil penelitian itu
sebagai pegangan kita dalam mencari jawaban atas pertanyaan apa dan
bagaimana gerangan yang disebut “falsafah Sunda” tanpa terjebak dalam
persoalan apakah istilah “falsafah” yang dimaksud oleh Panitia sama
dengan istilah “pandangan hidup”, tidakkah “pandangan hidup” lebih
sempit dari “falsafah” dan sebagainya.
*
Penelitian tentang Pandangan hidup Orang Sunda seperti tercermin
dalam tradisi lisan dan sastera Sunda, dibagi menjadi lima kelompok,
yaitu:
pandangan hidup tentang manusia sebagai pribadi;
pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan masyarakat;
pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan alam;
pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan Tuhan;
pandangan hidup tentang manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah.
Pada tahap pertama penelitian dilakukan terhadap tradisi lisan dan
sastera Sunda, yaitu yang berupa ungkapan tradisional, carita pantun
Lutung Kasarung, naskah Sanghyang Kanda ng Karesian, sawér pangantén,
roman Pangéran Kornél (1930) dan Mantri Jero (1928) karya R. Méméd
Sastrahadiprawira. Pada tahap kedua penelitian dilakukan terhadap uga,
Bab Adat Urang Priangan jeung Sunda lian ti éta (1913) karya H. Hasan
Mustapa, cerita-cerita si Kabayan, cerita rakyat (yang sudah dibukukan),
roman Rusiah nu Goréng Patut (1928, harusnya 1927) karya Yuhana, Lain
Éta (1934) karya Moh. Ambri, Maot dina Dahan Jéngkol (1986) karya Ahmad
Bakri.
Menurut kesimpulan para peneliti, tidak banyak berbeda hasil
penelitian tahap I dan tahap II, kecuali bahwa penelitian tahap I
memberikan gambaran tentang pandangan hidup orang Sunda golongan élit,
sedangkan penelitian tahap II memberikan gambaran tentang pandangan
hidup orang Sunda kebanyakan (balaréa).
Penelitian tahap III dilakukan dengan mengajukan kuesioner kepada
sejumlah orang Sunda kontemporer (yang hidup pada waktu penelitian
dilangsungkan), sebagai sampel diambil beberapa wilayah di Tatar Sunda,
ialah Kotamadya Bandung, Sumedang Kota, Cianjur Kota, Sumedang pedesaan,
Garut pedesaan, Tasikmalaya pedesaan dan Sukabumi pedesaan. Semua
responden dari seluruh wilayah jumlahnya 7 X 48 orang = 336 orang,
berusia antara 17 – 60 tahun, baik orang yang mampu maupun yang tidak
mampu, baik pegawai negeri atau pun bukan. Tim peneliti menganggap bahwa
sampel 336 orang itu representatif mewakili orang Sunda masa penelitian
dilakukan yang jumlahnya pasti di atas 20 juta orang.
Ternyata pada umumnya pandangan hidup orang Sunda kontemporer itu
umumnya masih tetap sama dengan pandangan hidup orang Sunda hasil
penelitian tahap I dan tahap II, kecuali pada beberapa hal terjadi
pergeseran bahkan perubahan.
Secara singkat, akan saya rumuskan isi hasil penelitian tersebut sebagai berikut:
1. Pandangan hidup tentang manusia sebagai pribadi
Orang Sunda berpandangan bahwa manusia harus punya tujuan hidup yang
baik, dan senantiasa sadar bahwa dirinya hanya bagian kecil saja dari
alam semesta. Sifat-sifat yang dianggap baik al. harus sopan, sederhana,
jujur, berani dan teguh pendirian dalam kebenaran dan keadilan, baik
hati, bisa dipercaya, menghormati dan menghargai orang lain, waspada,
dapat mengendalikan diri, adil dan berpikiran luas serta mencintai
tanahair dan bangsa. Untuk mempunyai tujuan hidup yang baik, harus punya
guru yang akan menuntunnya ke jalan yang benar. Guru dihormati dalam
masyarakat Sunda. Bahkan Tuhan Yang Maha Esa juga disebut Guru Hyang
Tunggal. Dalam naskah Siksa Kandang Karesian dikatakan bahwa orang dapat
berguru kepada siapa saja. Dianjurkan agar bertanya kepada orang yang
ahli dalam bidangnya. Teladani orang yang berkelakuan baik. Terimalah
kritik dengan hati terbuka. Ambil manfaatnya dari teguran dan nasihat
orang lain.
2. Pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan masyarakat
Tujuan hidup yang dianggap baik oleh orang Sunda ialah hidup
sejahtera, hati tenang dan tenteram, mendapat kemuliaan, damai, merdeka
dan mencapai kesempurnaan di akhirat. Sejahtera berarti hidup
berkecukupan. Tenang dan tenteram berarti merasa bahagia. Mendapat
kemuliaan berarti disegani dan dihormati orang banyak, terhindar dari
hidup hina, nista dan tersesat. Hidup damai artinya rukun, akrab dengan
tetangga dan lingkungan. Orang yang merdeka artinya terlepas dari ujian
dan terbebas dari hidup tanpa tujuan. Dan kesempurnaan akhirat ialah
terhindar dari kema’siatan dunia dan ancaman neraka di akhirat.
Untuk mencapai tujuan hidup itu orang harus taat kepada ajaran-ajaran
karuhun, pesan orangtua dan warisan ajaran yang tercantum dalam
cerita-cerita pantun, dan yang berbentuk naskah seperti Siksa Kandang
Karesian. Ajaran-ajaran itu punya tiga fungsi: (1) sebagai pedoman dalam
menjalani hidup; (2) sebagai kontrol sosial terhadap kehendak dan nafsu
yang timbul pada diri seseorang dan (3) sebagai pembentuk suasana dalam
masyarakat tempat seseorang lahir, tumbuh dan dibesarkan yang secara
tak sadar meresap ke dalam diri semua anggota masyarakat.
Semangat bekerjasama dalam masyarakat harus dipupuk dan dikembangkan.
Harus saling hormat dan bertatakrama, sopan dalam berkata, sikap dan
kelakuan. Harus saling sayangi sesama anggota masyarakat.
3. Pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan alam
Orang Sunda beranggapan bahwa lingkungan alam memberikan manfaat yang
maksimal kepada manusia apabila dijaga kelestariannya, dirawat serta
dipelihara dengan baik dan digunakan hanya secukupnya saja. Kalau alam
digunakan secara berlebihan apalagi kalau tidak dirawat dan tidak dijaga
kelestariannya, maka akan timbul malapetaka dan kesengsaraan.
Dalam Siksa Kandang Karesian misalnya terdapat ungkapan, “makan
sekedar tidak lapar, minum sekedar tidak haus, berladang sekedar cukup
untuk makan, dll. ” yang berarti tidak boleh berlebihan. Orang Sunda
dianjurkan agar “siger tengah” atau “siniger tengah”, yaitu tidak
kekurangan tetapi tidak berlebihan. Samasekali bukan untuk kemewahan,
melainkan hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dengan demikian
tidak menguras atau memeras alam secara berlebihan, sehingga terjaga
kelestariannya.
4. Pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan Tuhan
Sejak pra-Islam, orang Sunda percaya akan adanya Tuhan dan percaya
bahwa Tuhan itu Esa. Meskipun pernah memeluk agama Hindu, namun
dewa-dewa Hindu ditempatkan di bawah Hyang Tunggal, Guriang Tunggal atau
Batara Tunggal. Tuhan Maha Mengetahui, mengetahui apa yang diperbuat
mahlukNya, karena itu manusia wajib berbakti dan mengabdi kepada Tuhan.
Tuhan disebut juga Nu Murbéng Alam (Yang Menguasai Alam), Nu Mahawisésa
(Yang Mahakuasa), Nu Mahaasih (Maha Pengasih), Gusti Yang Widi (Yang
Maha Menentukan), Nu Mahasuci (Yang Maha Suci), dll. Tuhan menghidupi
mahlukNya, memberi kesehatan, memberi rizki dan mematikannya pada
waktunya.
5. Pandangan hidup tentang manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah.
Orang Sunda menghindari persaingan, lebih mengutamakan kerjasama
untuk kepentingan bersama. Lebih menghargai musyawarah. Bekerja keras
dan tidak mudah menyerah. Lebih mengutamakan mutu hasil kerja daripada
kecepatan menyelesaikannya. Tidak menunda pekerjaan yang belum selesai
apalagi menyerahkannya kepada orang yang bukan ahlinya. Mau mengerjakan
yang baik meskipun pekerjaan kasar. Kesehatan dipelihara, makan cukup,
pakaian bersih dan pantas, punya kedudukan, punya harta kekayaan. Tidak
buru-buru menerima yang baru yang belum tentu baik dan tidak mudah
meninggalkan yang berharga warisan nenekmoyang. Memperlihatkan rasa
tanggungjawab, tidak boros, selalu mengukur keinginan dan keperluan
dengan penghasilan, dan selalu hidup sederhana. Kreatif mencari lapangan
kerja sendiri dan percaya pada kekuatan sendiri, menyesuaikan diri
dengan lingkungan, dengan perkembangan zaman dan dengan kebiasaan yang
berlaku di tempat hidupnya. Berusaha mencapai hari depan yang lebih
baik. Mempelajari ilmu sampai mendasar sehingga dapat diamalkan.
Pergeseran dan perubahan
Dari hasil penelitian tahap III yang berupa kuesioner terhadap
sejumlah sampel, di sejumlah daerah, terlihat adanya nilai-nilai yang
tetap dipertahankan, ada yang bergeser dan ada pula yang berubah. Pada
pandangan hidup manusia sebagai pribadi terdapat pergeseran mengenai
pantangan (harus ada alasan yang masuk akal), hidup berkumpul dengan
keluarga, membela kehormatan, hidup selamat dan hidup sederhana.
Pandangan semula tidak ditolak sama sekali, tetapi disesuaikan dengan
perkembangan zaman. Yang mengalami perubahan adalah mengenai bicara
arif, bertindak hati-hati, ramah kepada pedatang, pengalihan kebiasaan
dan tentang hidup yang dicita-citakan. Orang bicara tak usah lagi
malapah gedang, lebih baik blak-blakan, tak usah terlalu menenggang
perasaan orang lain. Terhadap para pedatang, sekarang menjadi harus
waspada. Kebiasaan dirubah sesuai dengan kebutuhan, misalnya kebiasaan
menanam padi, kalau ternyata memelihara ikan lebih menguntungkan, maka
kebiasaan itu ditinggalkan.
Pada pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan masyarakat,
cenderung terjadi pergeseran dan perubahan dalam semua hal. Misalnya
tentang membantu anggota keluarga yang miskin, sewaktu-waktu dan
seperlunya saja, jangan sampai yang ditolong menggantungkan diri pada
orang lain. Terhadap orang tua tidak lagi menuruti segala keinginan dan
nasihatnya, bergeser menjadi asal tidak melupakan dan menghargai
jasa-jasanya. Dalam menghadapi hal yang tidak disetujui, kalau semula
diam, sekarang menyatakan pendapat dan merundingkannya, bahkan
memerotesnya. Yang berubah ialah tentang perkawinan dengan orang daerah
lain (menjadi terbuka), tentang tugas isteri terhadap suami (menjadi
setara sebagai teman hidup).
Pada pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan Tuhan, terjadi
penguatan dan pergeseran. Kepercayaan orang Sunda akan Tuhan dan akan
keesaan Tuhan, sekarang menjadi lebih kuat. Keyakinan akan Tuhan
Mahakuasa kian kuat. Manusia harus berusaha dan berdo’a tapi pasrah akan
hasilnya. Pendidikan agama dianggap kian penting baik di rumah, di
sekolah, di madrasah, maupun di masjid. Yang bergeser adalah yang
bertalian dengan upacara adat seperti membuat sasajén, dan sikap
terhadap uga.
Pandangan hidup tentang manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah dan
kepuasan batiniah mengalami sedikit pergeseran. Umumnya nilai-nilai lama
dipertahankan. Hanya kekayaan yang semula dipandang sebagai hal yang
menimbulkan ketenteraman dan kebahagiaan sekarang dipandang sebagai hal
yang mendorong orang untuk menyegani pemiliknya.
Dengan demikian Tim Peneliti berkesimpulan bahwa “pandangan hidup
orang Sunda dengan tetap berakar pada tradisinya telah dan sedang
mengalami pergeseran dan perubahan, setidak-tidaknya dialami oleh
orang-orang yang menetap di kawasan sampel penelitian. ……………. Nampak
pergeseran dan perubahan ke arah pandangan yang lebih waspada, yang
lebih bertauhid dalam agama, yang lebih realistis dalam bermasyarakat
dan lebih memahami aturan alam.” (jilid III h. 259).
Pareumeun Obor
Melihat bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian tahap I dan II,
kita dapat diyakinkan bahwa hasilnya dapat dikatakan representatif
mewakili alam pikiran orang Sunda seperti yang tercermin dalam tradisi
lisan dan sastera Sunda – walaupun menimbulkan tandatanya mengapa dari
H. Hasan Mustapa yang dijadikan bahan adalah Bab Adat Urang Priangan
jeung urang Sunda Lian ti Éta saja yang merupakan deskripsi etnografis,
dan tidak satu pun karyanya yang merupakan hasil pemikiran baik yang
berbentuk prosa maupun yang berbentuk puisi dijadikan sumber. Tapi hal
itu mungkin disebabkan karena karya-karya HHM umumnya belum diterbitkan
sebagai buku – yang menimbulkan tandatanya pula karena banyak sumber
lain yang berasal dari lisan malah digunakan sebagai bahan. Yang penting
ternyata dalam hasil penelitian tahap I dan tahap II tidak tercermin
adanya perubahan-perubahan dalam perjalanan masa, padahal bahan-bahan
yang digunakan itu berasal dari masa dan lingkungan yang tidak sama.
Begitu pula melihat bahwa dalam penelitian tahap III, yang dijadikan
sampel hanya 336 orang, kita bertanya-tanya apakah benar telah secara
representatif mewakili alam pikiran orang Sunda yang jumlahnya pasti
lebih dari 20 juta, meskipun peneliti telah berusaha mengajukan
kuesioner kepada orang Sunda di kota maupun di pedesaan.
Keraguan itu diperkuat ketika kita membaca hasilnya yang menimbulkan
tandatanya, misalnya apakah betul hanya terjadi sedikit pergeseran dan
perubahan pada pandangan hidup orang Sunda yang dirumuskan dalam
penelitian tahap I dan II dengan hasil penelitian tahap III? Apakah
betul pandangan hidup orang Sunda tetap berakar pada tradisinya dengan
hanya mengalami pergeseran dan perubahan sedikit pada hal-hal tertentu
saja?
Misalnya bertalian dengan pandangan hidup tentang manusia sebagai
pribadi, hasil penelitian tahap I dan II menyatakan bahwa a.l. “orang
Sunda itu berani dan teguh pendirian dalam kebenaran dan keadilan
……berpikiran luas serta mencintai tanahair dan bangsa”. Padahal dalam
kehidupan nyata di sekeliling kita sekarang, apakah kita melihat
nilai-nilai tersebut dilaksanakan oleh orang Sunda? Mungkin ada
orang-orang Sunda yang demikian, tetapi menurut pengamatan saya bukanlah
merupakan nilai yang secara umum diperlihatkan oleh orang Sunda
sehari-hari. Memang ada Tétén Masduki, ada Erry Riyana Hardjapamekas,
dan beberapa orang atau beberapa puluh orang lagi, tetapi secara umum
orang Sunda tidak bersikap seperti mereka. Kebanyakan merasa lebih baik
memilih diam melihat kebenaran dan keadilan diperkosa. Umumnya
menganggap bersikap pura-pura tidak tahu sebagai sikap yang bijaksana –
alias tidak bersikap “berani dan teguh pendirian”. Nilai-nilai tersebut
mungkin dijaring dari naskah kuna seperti Siksa Kandang Karesian yang
ditulis pada tahun 1518, ketika kerajaan Sunda masih berdiri dan manusia
Sunda masih merdeka. Tetapi setelah Tatar Sunda dijajah Mataram (sejak
awal abad ke-16) dan kemudian oleh Belanda (sejak abad ke-18) dan Jepang
(1942-1945), manusia Sunda menjadi manusia yang paling lama dijajah di
Indonesia dan mentalnya sudah berubah menjadi mentalitas manusia
jajahan, yang selalu ketakutan dan tidak berani mengemukakan pikiran
sendiri karena “heurin ku létah” dan sebagai abdi dalem yang setia
selalu melihat ka mana miringna bendo. Lebih mengutamakan keselamatan
dan kedudukan pribadi daripada memperlihatkan sikap “berani dan teguh
pendirian dalam kebenaran dan keadilan”.
Menurut Siksa Kandang Karesian orang harus menerima kritik dengan
hati terbuka, tetapi kita tahu kritik dianggap tabu dalam masyarakat
Sunda bahkan juga sampai sekarang. Orang yang berani mengeritik dianggap
henteu Nyunda! Artinya telah terjadi pergeseran dari sikap terbuka
terhadap kritik yang terdapat pada masa Siksa Kandang Karesian. Tetapi
sejak kapan pergseran itu terjadi, tidak diketahui.
Peneliti agaknya tidak menangkap bahwa nilai-nilai yang dimuat dalam
Siksa Kandang Karesian sudah banyak yang tidak diikuti lagi dalam
kehidupan nyata orang Sunda sejak beberapa lama – mungkin beberapa abad.
Hal yang dapat kita maklumi karena naskah Siksa Kandang Karesian tidak
dikenal lagi oleh orang Sunda umumnya sejak beberapa abad.
Juga mengenai pandangan hidup orang Sunda tentang hubungan manusia
dengan alam, kita misalnya dapat mempertanyakan tentang kesadaran untuk
melestarikan alam yang harus “dirawat dan dipelihara dengan baik dan
digunakan secukupnya saja”. Sudah lama kita melihat – lama sebelum pada
masa reformasi orang Sunda meranjah hutan Sancang dan hutan lindung lain
sehingga di Tatar Sunda sekarang hampir bisa dikatakan tidak ada lagi
hutan – para pejabat orang Sunda di Bappeda memperkosa tanah subur dan
sungai-sungai dengan menjadikannya sebagai kawasan industri. Suara yang
mengingatkan akan bahaya yang bisa ditimbulkannya tidak pernah didengar.
Nasihat Siksa Kandang Karesian tentang “makan sekedar tidak lapar,
minum sekedar tidak haus, berladang sekedar cukup untuk hidup” sudah
lama tidak diperhatikan. Orang Sunda sekarang kebanyakan sudah
terpengaruh oleh faham kapitalistis yang serakah dan tidak pernah merasa
kenyang dengan apa yang sudah didapat.
Nilai-nilai dalam pandangan hidup tentang manusia dalam mengejar
kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah juga sudah berubah. Mengutamakan
mutu hasil kerja misalnya sudah dikalahkan oleh keinginan menghasilkan
sebanyak mungkin – dengan konsekuensi mutunya menurun. Nilai tentang
hidup sederhana sekarang hanya dilaksanakan karena terpaksa. Dan kalau
terpaksa semua orang juga bisa, walaupun hasratnya yang menonjol adalah
mencapai kehidupan duniawi yang penuh gemerlapan. Kalau perlu tanpa
memperhatikan larangan-larangan yang diturunkan dari leluhurnya. Juga
nilai “tidak buru-buru menerima yang baru yang belum tentu baik dan
tidak mudah meninggalkan warisan nenek moyang yang berharga” tidak
kelihatan lagi. Sekarang semua orang seperti berlomba-lomba menerima
bahkan merebut yang baru walaupun belum tahu baik buruknya dan tidak
nampak usaha untuk mempertahankan warisan nenekmoyang yang berharga.
Pertanyaan-pertanyaan itu timbul karena memang kita sebagai orang
Sunda, sebagai bangsa Indonesia, sedang mengalami perubahan sosial yang
luar biasa. Perubahan yang mengguncangkan dan mencabut nilai-nilai
warisan nenekmoyang yang karena perjalanan sejarah tidak dapat
disampaikan secara baik dari generasi tua kepada generasi selanjutnya,
baik secara lisan maupun secara tulisan. Misalnya nilai-nilai yang
dikemukakan dalam Siksa Kandang Karesian, yang pada masanya menjadi
pegangan orang banyak selama berabad-abad hanya secara fragmentaris saja
disampaikan oleh generasi tua kepada generasi yang berikutnya.
Sementara itu telah datang agama, budaya dan nilai-nilai baru dari luar
yang merasuk ke dalam masyarakat baik yang di kota maupun yang di desa,
baik yang termasuk golongan elit maupun yang termasuk golongan balaréa,
dibawa oleh para saudagar, para penjajah, dan lain-lain. Semuanya itu
mempengaruhi nilai-nilai yang dianut oleh orang Sunda dalam hidupnya
dari masa ke masa. Sementara pewarisan nilai-nilai asli peninggalan
nenekmoyangnya tidak berlangsung secara baik, sehingga orang Sunda
sekarang seperti pareumeun obor.